CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

3.4.17

Kejengahan Politik dan Mencukupkan Ilmu Agama

Di sela-sela menulis blog tentang berkuliah di S2 MTI UI, saya ingin menulis sesuatu yang serius, tentang perkembangan terkini situasi bangsa dan negara, hehee... loh kok pake hehee... udah ah serius ahh.. jadi saya merasa tidak habis pikir (ungkapan yang selalu menjadi ciri khas saya ketika menemui hal yang mengherankan) bahwa agama yang saya anut ini, yaitu Islam, diwakili oleh orang-orang yang tidak rasional? Begitu gagahnya mereka berteriak lantang atas nama umat Islam, merasa mewakili umat islam, lalu berceramah, berteriak, bunuh, gantung, turunkan, bersikap rasis, dan caci-maki lainnya, kok bisa? Entahlah, saya hanya tak habis pikir.

Kasus Ahok ini membuat terbuka pikiran saya, bahwa ternyata agama yang saya anut, tidak lah sepenuhnya baik, orang-orangnya, yang suka mengatasnamkan agama. Betapa tidak, pertama tidak bisa membedakan penggunaan kata “pakai” dengan yang tidak. Kedua tidak mengerti konteks, ketiga suka merendahkan orang lain, apalagi jika orang itu kafir dan etnis cina, keempat gampang sekali mencap orang lain kafir dan munafik, kelima penuh prasangka, keenam egois, katanya tabayun tidak perlu dilakukan kepada orang kafir, ketujuh tidak bisa membedakan mana agama, mana orang. Kedelapan berisik, kesembilan rasis, kesepuluh kasar, entahlah... mau seberapa panjang saya membuat daftar tak habis pikir saya, baiknya saya cukupkan dulu.


Ahok akan mengikuti Pilkada Jakarta, seorang cina kristen kafir diprediksi akan menang telak. Sang penantang tentu tak senang wilayah ibukota ini dipimpin kafir, cina pula, segala daya upaya dilakukan untuk menyerang beliau, dan tentunya, mengatasnamakan AGAMA, yaitu Islam. Sang penantang bergerilya sampai ke rumah-rumah ibadah, menyebabkan masjid sudah tak nyaman lagi, setidaknya bagi saya. Betapa tidak, saya yang ingin menemukan kedamaian, kesunyian dan ketenangan di masjid, malah menemukan keberisikan, sumpah serapah, hinaaan, cacian dan makian yang menurut saya tidak pantas, tapi apalah arti saya, apalagi sumpah serapah itu.. mengatasnamakan agama, ya sudah, tak berkutik pun saya, masa bodoh, pikiran saya terlalu berharga jika hanya mendapat asupan kebencian, lebih baik saya pergi saja, mencari gua hira milik saya.

Situasi politik saat ini membuat saya jengah, saya yang sangat menyukai politik, sering membuat status politik di Facebook, akhirnya menyerah, capek, saya sadar, bahwa betapa pun beratnya saya melawan orang bodoh di media sosial, itu semua tergantung penerimaan mereka, level pemahaman mereka, prasangka yang sudah tertanam pada otak mereka, dan seberapa besar bandara di otak mereka untuk bisa menerima hidayah sebesar boeing 787 dreamliner. Tidak mudah merubah pikiran orang, lalu untuk apa saya capek-capek, hidup saya terlalu berharga kan. Biar saja mereka bodoh, toh mereka menganggap diri mereka pintar. Kini saya merasa bebas, tidak lagi membuat status politik, dan hal itu membuat saya tenang. Politik memang memecah belah, ya itulah yang saya baru sadari yang memaksa saya untuk stop dan berhenti buang-buang waktu berdebat soal politik.

Kasus Ahok sangat menyadarkan saya, bagaimana tidak, seorang Gubernur yang sudah berbuat banyak, sangat banyak, mulai dari membangun sistem keuangan yang transparan, menerima keluhan masyarakat, membuat aturan brilian pengganti pajak bumi dan bangunan dengan koefisien lantai bangunan, sehingga pemilik gedung lantai tinggi harus bayar pajak berdasarkan ketinggian lantainya, bukan berdasarkan luas tanahnya lagi, ide brilian tentang normalisasi sungai, KJP, KJS, relokasi pemukiman kumuh ke rusun, membangun RPTRA atau taman-taman di atas kekumuhan, membangun plaza agar masjid kumuh jadi tempat wisata, dan masiih banyak lagi. Oh ya, ide brilian yang tentang koefisien lantai bangunan tadi, berhasil membuat terlaksananya proyek simpang susun semanggi senilai 300an milyar, tanpa APBD, gratis! Sudah segitu banyak yang diperbuat oleh Ahok, tetap saja ada orang bodoh yang kontra dengannya, orang bodoh yang menganggap plaza yang mau dibangun adalah Mal, bukan tanah lapang yang luas, ya sudahlah, memang bandara hidayah di otaknya mungkin cuma cukup untuk sekelas pesawat latih cesna, mau gimana lagi? yang terlihat hanyalah Ahok itu kafir dan cina, sangat primitif argumen mereka. Ya, politik memang memecah belah, membuat dua kubu menjadi berlawanan, dua teman jadi musuh, dua kerabat menjadi saling sindir, semua gara-gara politik.

Saya sadar bukan karena politiknya sih, tapi karena orang-orangnya yang tidak siap dengan perbedaan, berbeda berarti menjadi musuh, begitulah cara pikir orang tua kita dan guru kita sejak kecil. Kita tidak diajarkan menerima perbedaan pendapat, mengatasi masalah dengan cara lain, kita tidak diajarkan mengapa suatu hal harus dilakukan, dan pula tidak diajarkan untuk membaca dengan seksama, membaca jurnal, berbagai macam tafsir, berbagai metode untuk beribadah.

Untuk itu saya memutuskan berhenti membuat komentar dan status politik. Kalau komentar masih ada, setidaknya dikurangi, kalau status rasanya saya ingin berhenti saja. Karena kasus Ahok ini membuka mata saya, sebagus apapun orangnya, jika warga atau rakyatnya sudah benci bukan kepalang tanpa ada rasionalitas lagi, maka apapun tidak akan bisa menolongnya. Ya sudah, saya tidak peduli. Yang penting saya akan tetap membaca, menganalisis situasi, berpikir, semata-mata untuk mempertahankan sisi kerasionalan saya.

Lalu bagaimana dengan agama? Saya muak, saya muak melihat tingkah sebagian orang yang mendadak alim dan overdosis agama, karena kasus Ahok. Sudah bodoh, sombong lagi, dan mengatasnamakan agama. Ahok dituduh penista agama hanya karena mengutip Al-Maidah ayat 51, bahkan dituduh menafsirkan sendiri Al-Maidah 51. Seluruh negeri heboh, belingsatan. Parahnya tak bisa membedakan kalimat yang ada kata “pakai” dan tanpa kata “pakai”. Ahok dituduh menista Al-Quran karena menganggap Al-Quran sebagai alat untuk kebohongan, dan lebih jauh Al-Quran yang telah berbohong, atau menista agama karena menghina Ulama, karena Ulama lah yang berhak menyampaikan Al-Quran, dan Ulama tak pernah berbohong, benarkah?

Bukan kepalang hebohnya, aksi 411 dan 212, dan berlanjut aksi lainnya ditanggal cantik hanya demi menekan hukum dan mencaci maki Ahok. Berdatangan ke jakarta, pakai baju jubah putih, dari seantero negeri, berbondong-bondong ke jakarta, rela berpanas-panas, rela meninggalkan pekerjaan, atau jangan-jangan memang pengangguran? Saya muak, saya tidak rela agama yang saya anut diwakili oleh orang-orang semacam itu, saya hanya bisa diam. Menentang? Akan dibilang munafik, kafir, jenazah tidak akan disolatkan dan sebagainya. Teman facebook yang sering share konten porno mendadak alim, pasang foto profil kalimat Tauhid, katanya walau belum pasti masuk surga, tapi sudah pasti menghilangkan salah satu syarat masuk neraka, hanya dengan ikut aksi dan sering share di FB.

Sekali lagi aksi Ahok membuka mata saya, betapa agama memecah belah, betapa agama membuat manusia tidak produktif, bayangkan, umat lain sudah sampai bulan, mars, bahkan sudah ke luar tata surya kita lewat misi voyager, umat kita masih ribut urusan remeh temeh soal Al-Maidah 51 dan pemujaan berlebihan kepada ulama. Klaim 7 juta orang yang ikut aksi dengan damai katanya, tak menbuat saya takjub, kenapa harus takjub? Apa kontribusi untuk pembangunan? Apa kontribusi untuk ilmu pengetahuan? Energi sebesar itu sayang sekali tidak dimanfaatkan untuk gali terowongan MRT misalnya, lebih bagus kalau bawa pacul dan pengki dari daerah masing-masing, MRT jakarta akan selesai hanya 2 minggu.

Sudah bodoh, sombong pula, tidak bisa membedakan mana Al-Quran, mana Mushaf. Al-Quran itu disebarkan secara mulut ke mulut, bunyi ke bunyi. Tapi mayoritas orang kita ini baru baca Mushaf, terjemahan pula sudah berlagak ahli tafsir, koar-koar bilang “ayatnya sudah jelas”-“ayatnya sudah jelas”. Apanya yang sudah jelas? Terjemahan? Percaya 100 persen dengan terjemahan sama saja rela terjerumus dengan rayuan setan.

AL-QURAN ITU TIDAK BISA DIPELAJARI DENGAN TERJEMAHAN, APALAGI MEMVONIS ORANG DENGAN TERJEMAHAN, nah itu saya tulis dengan kapital saking kesalnya. Terjemahan hanya alat bantu untuk memahami, bukan hasil akhir dari makna Al-Quran itu sendiri, karena Al-Quran adalah bunyi yang diturunkan dalam bahasa Arab. Tidak ada satupun metode yang bisa menerjemahkan bahasa satu ke bahasa lain yang 100 persen benar, tidak ada, karena setiap bahasa memiliki rasa, setiap bahasa memiliki perbendaharaan kata masing-masing yang berbeda, apalagi bahasa arab ke bahasa indonesia. Yang bisa dilakukan adalah menafsir, dan tafsiran pun tidak 100 persen benar, yang bisa dicapai adalah “mendekati” kebenaran. Itulah yang namanya tafsir.

Mengapa kesal? Tentu kesal dan merasa sakit hati, ketika kebodohan akan tafsir dipertontonkan secara gamblang di muka ceramah mimbar jumat. Saya sedih, karena agama saya direpresentasikan oleh orang bodoh, orang lain yang mengaku beragama sama, ternyata berlaku yang tidak sesuai dengan apa yang saya harapkan. Karena agama adalah sejatinya hanya bahasa, sekumpulan metafora dan simbol yang gunanya untuk berkomunikasi, mengekspresikan yang sulit diekspresikan, sesederhana itu sebenarnya makna agama, sebuah bahasa. Akhirnya saya pun lelah, muak dengan agama, ketika agama dijadikan alasan berpolitik, untuk tidak memilih suatu calon, seakan-akan semua hal harus berlandaskan agama, tentu tidak. Apa yang terjadi dengan ahok dan berbagai macam aksi menentangnya dengan memakai agama, sungguh sangat terlihat mematikan rasionalitas. Untuk itu saya menyerah, saya masa bodoh, saya tak peduli dengan politik dan agama, kedua-duanya mematikan cara berpikir dan rasionalitas, serta yang paling penting adalah anti-kebhinekaan.

Orang-orang yang anti ahok, aksi sana sini, melarang memilih pemimpin non-muslim, mengkafirkan sesama muslim, menghakimi sebagai munafik kepada orang lain, sungguh membuat saya bertanya besar, apakah tujuan beragama seperti itu? Bagaimana dengan hak asasi manusia, bahwa setiap manusia adalah sama, bagaimana dengan pancasila, dengan negara kita sendiri? Entahlah, sulit saya cerna, namun banyak yang memiliki pemikiran seperti itu, tua, muda, S1, S2, Doktor sekalipun, saya hanya bisa tercengang dan masa bodoh.

Saya bisa paham, sangat paham, kenapa? Karena saya pernah di posisi mereka, mungkin karena waktu muda saya tidak cukup punya banyak teman, yang saya lakukan hanya membaca majalah sabili, buku the choice ahmad deedat, atau mengikuti artikel koran tentang gerakan-gerakan yang saat ini saya pahami sebagai radikal, dulu tentu saya tidak berpikir demikian. Pernah suatu masa saya menganggap osama bin laden, habib rizik, pembom bali 1 dan 2, organisasi semacam laskar jihad, FPI, dll adalah pahlawan, mereka adalah islam sesungguhnya. Saya pun pernah dalam fase sangat mengidolakan mereka, ingin bergabung dengan mereka, ingin langsung terbang ke afghanistan, ya saya pernah seperti itu, walau hanya niat, maklum masih muda, inginnya perang, terlihat keren, mungkin.

Semua yang berbau tidak sesuai dengan ajaran Al-Quran saya anggap bidah, tahlilan, solawatan, mauludan, pernah saya anggap bidah dan bodoh. Ya, itu dulu. Sekarang saya telah berubah, tapi malah kini banyak orang yang bersikap seperti saya yang dulu. Mungkin sayanya saja yang terlalu cepat, dan mereka masih dalam tahap belajar. Lalu apa yang membuat saya berubah? Merasa tercerahkan? Mungkin sebagian faktor yang merubah saya adalah karena pernah tinggal di swiss selama hampir 3 tahun, negara paling indah, teratur, dan sangat islami!!. Kotanya, negaranya, infrastrukturnya, orangnya, taman-tamannya, semuanya, INDAH!!. Mengapa? Karena mereka menghargai perbedaan, kesadaraan kolektif bahwa berperang sangat tidak ada gunanya, bahwa kesejahteraan bersama haruslah menjadi tujuan semua orang, oleh karena itu semua orang harus disiplin, teratur. Di sana air minum gratis, taman indah gratis, sungai bening, transportasi bersih dan terawat serta teratur, tempat wisata mudah diakses, pendidikan gratis, pelayanan kesehatan maksimal dan peduli dengan pasien, malam-malam yang sepi, pemimpin yang digilir setiap tahun dan hanya mendapat fasilitas tiket abonemen kereta, serta masih sangat banyak lagi.

Dari situ saya berpikir, berkontemplasi ke dalam, ke negara sendiri, negara kita yang memiliki lebih dari 13.000 pulau, 400 lebih suku, 700 lebih bahasa dan dialek. Bahwa persatuan jauh lebih penting dari apapun, bahwa kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, pelayanan kemasyarakatan adalah jauh lebih penting untuk dipikirkan daripada hanya berlelah hati dan menguras energi untuk memikirkan sebaliknya. Retorika yang bilang bahwa saya baik, kamu jahat, saya benar, kamu salah, saya masuk surga, dan kamu masuk neraka adalah sangat mengkerdilkan arti negara kita sebagai anugrah dari Tuhan.

Belajarlah menghargai perbedaan, pikirkanlah hal-hal yang penting, berpikir jauh ke depan, tentang ilmu pengetahuan, kedokteran, energi alternatif, eksplorasi laut dalam, eksplorasi angkasa luar, dan lain sebagainya. Sudah cukup dengan agama, namun bukan berarti atheist, oh tidak, saya adalah orang yang relijius, namun lebih memilih mengekspresikan keyakinan saya di tempat yang sunyi, sepi, dimana saya bisa berkomunikasi dengan sang Pencipta dengan lebih intim dan personal. Bukankah islam sendiri itu artinya damai?

Tulisan ini tak ada gambar, hanya tulisan, buah pemikiran saya sendiri.

0 comments: