CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

4.12.18

Love-Hate Relationship with Broccoli


I do have a love-hate relationship with broccoli. Saya terkenal sejak kecil memang tidak suka sayur. Bagi saya, apa ya, rasanya, just don’t like it. Saya paling benci kalau makan sayur, rasanya masih seperti, sayur, dan rasa sayur itu ya mentah.. haha...

Tapi saya sadar kalau sayur memang banyak manfaatnya. Kandungan sayur paling banyak adalah serat, kemudian vitamin dan mineral yang tentunya sangat dibutuhkan oleh tubuh dan tubuh tidak bisa memproduksinya sendiri. But hey, kan ada pil atau tablet yang isinya ekstraksi beberapa jumlah buah dan sayur? Bagi saya ketika pertama melihat iklan pil itu di TV, rasanya seperti penemuan abad ini, saya terperangah dan merasa ingin memberikan hadiah nobel bidang kesehatan kepada orang yang menciptakannya.

Bagaimana tidak, pil itu akan menyelamatkan nyawa anak-anak macam saya yang tidak suka makan sayur ini, haha... tapi harganya mahal, dan ya, saya beli! Dampaknya gimana? Gak ada. Kayaknya dibohongin deh, mana kita tahu berapa komposisi jumlah buah dan sayurnya kan.

Ketidaksukaan terhadap sayur gak berlangsung lama, sampai tiba waktu SMA (lama banget itu mah) saya menemukan jenis sayur yang saya sukai, yaitu kangkung!.. balado! Haha... tetep ya dicabein. Kangkung balado rasanya ya, tidak seperti sayur, enak krenyes-krenyes pedas.

Lalu bagaimana dengan saya yang kini hidup di Ukraina sini? Memprihatinkan. Sayur terbatas, kangkung mustahil ada, ada sih, tapi 600 kilometer jauhnya, itu pun di musim-musim tertentu. Oke, sayur nomor dua dalam daftar sayuran yang bisa saya makan yaitu bayam. Nasibnya tidak setragis kangkung di sini, masih ada, tapi gak semua supermarket ada. Di supermarket di bawah apartemen saya nihil bayam, harus ke supermarket yang agak jauhan, tapi di musim salju begini, wah mimpi deh, mending saya balik makan yoghurt aja sampe kembung, haha..

Nomor tiga yaitu sawi putih, disini banyak. Dimana-mana ada, bahkan di supermarket di bawah apartemen saya ada, terima kasih ya Allah, kalau enggak saya makan yoghurt terus sebagai pengganti sayur, haha.. eh tapi sekarang masih makan yoghurt juga sih, tidak kalah penting lho itu. Kebiasaan makan yoghurt saya sejak bertugas di swiss, di sana orang-orangnya, anak-anaknya, ya cemilannya yoghurt, and it’s really have a big impact to my health as well. Mau ke belakang lancar? Mau buang air besar sempurna solid tak berbekas ketika di-wipe? Makanlah yoghurt dengan rutin, kurangi nasi, hindari stress, tidur yang teratur, dan berolah raga dengan cukup, haha.. mampus kan loh.

Back to sawi putih, jadi ceritanya mulai minggu kemarin saya masak sayur sawi putih, seperti biasa hanya ditumis saja dengan cabe-bawang-tomat. Rasanya sempurna, walau ya nomor tiga kan, tidak akan bisa mengalahkan yang nomor satu itu.

Suatu malam pulang kantor, saya ingin sekali makan mewah, yaitu nasi, ayam, dan sayur, iya, makanan warteg begitu mah di sini mewah, haha.. saya biasa makannya steak, kebab, daging kalkun panggang, burger, ah bosan. Lalu saya pergi ke supermarket di bawah apartemen. Seperti biasa tidak ada bayam, gak tau kenapa walau pun gak ada, tetap saja saya cari-cari.

Menengok ke sawi putih, oke saya ambil. Sambil mikir proses masaknya nanti, duh bakal lama nih. Lalu kemudian, sesuatu yang mengejutkan terjadi, entah kenapa tangan saya ini menggapai rak ketiga di urutan tengah, dan saya mengambil.. brokoli! hijau! bukan putih. eh mahal loh, kampret bener nih sayur, udah gak enak mahal pula, oke saya ambil.

Seakan-akan si brokoli ini menatap nanar kepada saya, memohon agar dapat diambil dan dimasak, supaya membawa manfaat kesehatan kepada saya yang belakangan ini ada masalah ke belakang, haha... oke bro (brokoli), gw ambil.

in my kitchen, I’d through a lot of decision making process on my brain just to decide, whether I should cook sawi putih or broccoli. And surprisingly, I choose broccoli! Man, that takes a lot of faith in there. Broccoli, I believe in you, in.. you. 

As it turn out, it’s not that bad. Saya kagum dengan bentuk brokoli yang kokoh, kuat, bentuknya pun lucu ya seperti pohon, beneran pohon (apaan sih). Setelah youtube sana-sini cara memasak brokoli, pilihan saya jatuh kepada cara memasak dengan.. microwave! (dasar males) haha... tapi bener, lebih kepada faktor kecepatan sih.

Jadi masak brokoli ini mudah sekali gaes (udah kayak youtuber belum?) potong setiap cabang brokoli yang ingin kita makan dengan jumlah yang kita inginkan, and this is the exciting part, kita bisa mudah menentukan seberapa banyak yang mau kita makan. Brokoli ini bak uang yang beredar di masyarakat, atau minyak tanah yang mudah dibagi-bagi. Mau 2 cabang? 3 cabang? Tinggal potong pangkal cabangnya, terus simpan lagi sisanya di kulkas.

Beda sama kangkung, atau bayam dan sawi putih, kita gak bisa benar-benar membagi dengan jelas. Kangkung dan bayamnya tergantung iketannya, sawi putih belah dua, kalo masih kebanyakan ya bisa buat makan berikutnya dipanasin lagi (ribet amat lo dhis!)

Back to broccoli, setelah dipotong, dicuci, saya suka membiarkan potongannya tetap menyerupai pohon kecil (penting banget?) terus taruh di mangkok, kasih air sedikit, kasih garam dan lada, masukkan ke microwave, dan masak untuk 2 menit, ya 2 menit saja, voila!

Rasanya gak enak, tetap ada rasa sayur mentah, namun masih bisa saya makan, ini menjadikan brokoli nomor 4 dalam daftar sayur saya, hore! Selamat ya brokoli, haha...

Dan entah kesambet apa, pagi ini saya sarapan dengan side dish 2 pohon kecil brokoli, rasanya? Gak enak. But then again I remember all the good and benefit of eating broccoli, no doubt of that. I feel energized. 

Jadi, ke depan, saya berjanji pada diri sendiri untuk lebih sering memakan brokoli, no matter what, just close your eyes and eat it!

Saya tidak akan menjelaskan manfaat dari brokoli, banyak banget, bisa di-google sendiri, tapi saya menemukan topik menarik di internet mengapa saya, dan mungkin orang lain yang tidak suka makan sayur itu, tidak suka makan sayur (duh). Jadi, kita orang yang tidak suka makan sayur menganggap atau merasa sayur itu ya pahit.

Ternyata ini ada hubungannya dengan gen atau DNA kita, ada keanehan tampaknya. Kita memiliki apa yang namanya perceived of bitterness yang lebih tinggi dari orang lain, kalau di-bahasa indonesiakan berarti persepsi kepahitan, atau prasangka kepahitan (ciee).

Berdasarkan penelitian Jerzsa-Latta, Krondl, dan Coleman (1990), ada hubungan antara struktur kimia pada sayuran sebangsa brokoli terhadap persepsi kepahitan. Sementara Wooding et al (2010) menemukan bahwa mutasi gen TAS2R38 bersama dengan faktor lainnya dapat menentukan persepsi kepahitan seseorang. Kemudian Wieczorek, Zielinska, Walczak, dan Jelen (2017) meneliti bahwa selain gen, persepsi kepahitan juga dipengaruhi faktor kemampuan reseptor dan campuran bahan makan serta aroma.

Jadi sebenarnya, kami bisa merasakan pahit secara sensitif bahkan untuk jumlah yang sangat sedikit yang tidak dirasakan oleh orang lain. Hal tersebut adalah kemampuan dasar manusia untuk bertahan hidup, yaitu untuk menghindari racun, karena rata-rata racun itu pahit. Namun seiring berjalan waktu, dan semakin baiknya proses pembuatan makanan, evolusi manusia membuat kemampuan itu menurun.

Jadi kami-kami ini yang punya persepsi kepahitan yang tinggi tampaknya masih ketinggalan dalam
berevolusi (tragis).


image by: pixabay.com

0 comments: